Beranda | Artikel
Sepenggal Kisah Kebijaksanaan Abu Bakar ash-Shiddiq -radhiyallahuanhu-
Kamis, 22 Oktober 2009

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau meriwayatkan: Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan kemudian Abu Bakar –radhiyallahu’anhu– diangkat sebagai khalifah sesudahnya, maka pada saat itu sebagian bangsa Arab kembali kepada kekafiran. Ketika itu Umar bin al-Khattab –radhiyallahu’anhu- berkata kepada Abu Bakar, “Bagaimana engkau akan memerangi orang-orang itu -maksudnya adalah kaum yang enggan membayar zakat, pent- sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan la ilaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan la ilaha illallah maka dia telah menjaga harta dan jiwanya dariku kecuali apabila ada alasan yang benar -untuk mengambilnya-. Adapun hisabnya adalah terserah kepada Allah ta’ala.’?.” Maka Abu Bakar pun mengatakan, Demi Allah! Benar-benar aku akan memerangi orang-orang yang membeda-bedakan antara sholat dengan zakat. Karena sesungguhnya zakat itu adalah hak atas harta. Demi Allah! Seandainya mereka tidak mau menyerahkan kepadaku seikat karung (zakat) yang dahulu biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku akan memerangi mereka kalau mereka tetap berkeras tidak mau menyerahkannya.” Umar bin al-Khattab –radhiyallahu’anhu– pun mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah mungkin hal itu berani dilakukannya melainkan karena aku yakin bahwa Allah telah melapangkan  dada Abu Bakar untuk berperang. Dari situlah aku mengetahui bahwa dia berada di atas kebenaran.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Minnatul Mun’im fi Syarh Shahih Muslim [1/69-70], dan Syarh Muslim li an-Nawawi [2/50-51])

Hadits yang agung ini memberikan banyak pelajaran, antara lain:

  1. Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu’anhu adalah khalifah sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hadits ini merupakan bantahan bagi kaum Syi’ah yang menolak kekhalifahan beliau. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa tinggi kedudukan Abu Bakar di mata para sahabat yang lain dan beliau adalah orang terbaik di antara mereka!
  2. Kematian ulama merupakan salah satu sebab munculnya kekacauan/fitnah di tengah-tengah umat manusia. Bagaimana kalau yang meninggal itu adalah sayyidul ulama (pemimpinnya para ulama) yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Lihatlah, bagaimana kematian beliau sampai-sampai membuat sebagian bangsa Arab kembali kepada kekafiran mereka… sebuah fitnah yang sangat besar -adakah fitnah lain yang lebih besar dari fitnah kekafiran?- yang timbul akibat wafatnya seorang ulama. Maka bagaimanakah lagi dengan fitnah berupa penyimpangan manhaj yang terjadi di antara kaum muslimin -tidak terkecuali para da’inya- setelah meninggalnya para ulama da’wah salafiyah semacam Ibnu Baz, al-Albani, dan Ibnu Utsaimin –rahimahumullah-? Maka tentu saja hal itu lebih besar kemungkinan terjadinya di tengah-tengah kita, nas’alullahas salamah…Syaikh Walid menerangkan, di antara pelajaran berharga dari hadits ini adalah; kematian ulama hadits merupakan musibah besar yang menimpa umat dan gerbang timbulnya berbagai macam fitnah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang beberapa waktu yang silam, ada dalam buku catatan kami)
  3. Hadits ini menunjukkan bahwa golongan orang yang bersepakat untuk tidak membayarkan zakat di masa Abu Bakar menjabat khalifah disamakan hukumnya dengan orang-orang yang menjadi kafir/murtad karena mengikuti nabi palsu semacam Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-Ansi. Mereka disamakan status hukumnya sebagai orang yang berhak untuk diperangi. Namun, hal itu tidak berarti setiap individu orang yang enggan membayarkan zakat tersebut dikafirkan (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/54]). Abu Bakar memerangi mereka bukan karena murtad -walaupun ada juga yang murtad di antara mereka-. Namun hal itu beliau lakukan karena mereka telah membatalkan ikatan perjanjian keselamatan yang berupa pembayaran zakat. Sebagaimana orang yang menolak kewajiban sholat berhak untuk diperangi, maka demikian pula orang yang menolak membayar zakat. Oleh sebab itu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh, aku akan memerangi orang yang membeda-bedakan antara sholat dengan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak atas harta.” Golongan yang tidak mau tunduk membayar zakat ini dikategorikan sebagai pemberontak (ahlul baghyi), bukan murtad. Sebagaimana diterangkan oleh an-Nawawi (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/53]). Mereka melakukan hal itu karena ta’wil dan bukan karena mengingkari wajibnya zakat (faedah ini bersumber dari keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga keterangan an-Nawawi dalam Syarh Muslim [2/53-55]). Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan ucapan Abu Bakar yang akan memerangi orang yang membeda-bedakan antara sholat dengan zakat, hal itu menunjukkan bahwa kebolehan memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan sholat adalah perkara yang sudah disepakati oleh para sahabat (Syarh Muslim li an-Nawawi [2/53]). Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Apakah jika ada sekelompok kaum muslimin di masa kita yang mengingkari wajibnya zakat dan menolak untuk membayarkannya maka diterapkan kepada mereka hukum sebagaimana pemberontak -seperti di masa sahabat, pen-? Maka kami katakan: tidak. Karena sesungguhnya orang yang mengingkari wajibnya zakat di masa ini adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Syarh Muslim li an-Nawawi [2/55])
  4. Hadits ini menunjukkan bahwa dalil umum bisa dikhususkan dengan dalil qiyas (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/53])
  5. Syaikh Walid menjelaskan, hadits ini menunjukkan bahwa memulai penyerangan kepada kaum musyrikin -bukan karena diserang- adalah perkara yang disyari’atkan -tentu saja jika kondisi  kaum muslimin kuat-, hal ini disebut sebagai jihad thalab. Sehingga hal ini merupakan bantahan bagi sebagian kalangan yang mengingkari adanya jihad thalab/ofensif dalam Islam (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)  
  6. Syaikh Walid juga menerangkan, hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang mendapatkan perintah, bukan sumber pembuat syari’at. Beliau memerintah karena diberikan izin untuk memerintah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  7. Syaikh Walid menerangkan, perintah untuk memerangi ini tidak mengharuskan untuk membunuh. Sebab qital/perang berbeda dengan qatl/pembunuhan (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  8. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bahwa orang kafir -maksudnya kafir harbi/yang memerangi umat Islam, pen- adalah tidak dilindungi hartanya, dalam artian boleh diambil hartanya -yaitu dalam situasi perang, pen- (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  9. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bahwa syarat masuk Islam adalah cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bagi orang yang mampu melakukannya, atau melakukan perkara lain yang semakna dengannya -jika dia tidak mampu berbicara, misalnya- (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  10. Hadits ini menunjukkan hujjiyah/keabsahan berdalil dengan analogi/qiyas yang sahih. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Beliau melandasi tindakan memerangi orang-orang yang bersepakat untuk membayar zakat dengan dalil mengqiyaskan antara sholat dengan zakat. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bolehnya beramal dengan landasan qiyas/analogi (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59])
  11. Hadits ini menunjukkan bolehnya mengkritik penguasa di hadapannya secara langsung –dengan berduaan/secara empat mata, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits lainnya-, tentunya dengan menjaga adab/sopan santunnya.
  12. Syaikh Walid menerangkan, di antara faedah hadits ini adalah menunjukkan bolehnya berdebat/berdiskusi dalam rangka mencari kebenaran dan dilakukan dengan penuh sopan santun (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang).
  13. Hadits ini juga menunjukkan hendaknya seorang yang telah tampak kepadanya kebenaran pendapat oranglain/lawan debatnya maka dia harus mengikuti/rujuk kepadanya (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60])
  14. Hadits ini menunjukkan bolehnya mendebat orang-orang yang lebih senior atau pemimpin demi menampakkan kebenaran (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59])
  15. Hadits ini menunjukkan bahwa kekokohan ilmu seseorang itu akan tampak ketika terjadinya fitnah (faedah dari salah satu ceramah Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah).
  16. Hadits ini menunjukkan keutamaan Abu Bakar di atas Umar radhiyallahu’anhuma. Syaikh Walid menerangkan, di antara pelajaran berharga dari hadits ini adalah menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan kekuatan beliau dalam membela kebenaran, serta kemauan Umar untuk rujuk dari pendapatnya lalu mengikuti pemahaman Abu Bakar (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa Umar taklid kepada Abu Bakar, sebab beliau mengikutinya dengan landasan dalil. Seorang mujtahid tidak taklid kepada mujtahid yang lain (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59])
  17. Hadits ini menunjukkan keberanian Abu Bakar dan kedalaman ilmunya dibandingkan para sahabat yang lain (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59])
  18. Hadits ini menunjukkan wajibnya jihad (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59])
  19. Hadits ini menunjukkan wajibnya menjaga harta dan nyawa orang yang telah mengucapkan kalimat tauhid meskipun dalam kondisi perang dan orang tersebut baru mengucapkan kalimat syahadat ketika pedang telah dihunuskan di atas lehernya (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59]). Sebagaimana dalam kisah Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu yang populer…
  20. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang yang dijadikan sebagai pemimpin seharusnya adalah orang yang paling berilmu, sebagaimana para sahabat menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin di antara mereka karena beliau adalah orang yang paling berilmu
  21. Hadits ini menunjukkan bahwa kebijakan imam/penguasa harus selalu dilandaskan kepada al-Kitab dan as-Sunnah, sebab kebolehan berhujjah dengan qiyas adalah sesuatu yang ditopang dan ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah.
  22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa hukum yang menyelisihi atau bertentangan dengan al-Kitab atau as-Sunnah adalah hukum yang tertolak dan tidak layak diberlakukan di antara manusia
  23. Hadits ini menunjukkan bahwa pemungutan zakat dan pembagiannya merupakan wewenag pemerintah atau yang mewakilinya
  24. Syaikh Walid menerangkan, di antara pelajaran yang terkandung dalam hadits ini adalah bolehnya memerangi orang-orang yang menolak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh syari’at (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60]).
  25. Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar mengucapkan la ilaha illallah tanpa diiringi dengan ketundukan kepada kandungan dan konsekuensinya adalah tidak cukup untuk terjaganya harta dan nyawa orang yang mengucapkannya
  26. Bolehnya bersumpah tanpa diminta atau bukan di dalam majelis peradilan untuk menguatkan sesuatu yang dianggap perlu atau di saat keadaan menuntut demikian (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/57])
  27. Wajibnya taat kepada pemimpin dalam ketaatan. Yang dimaksud keaatan di sini tidak hanya dalam perkara yang disebutkan perintahnya dalam syari’at (wajib atau sunnah), namun ia bersifat umum meliputi segala perkara yang diatur oleh pemerintah dengan syarat tidak menyelisihi/bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. Termasuk di dalamnya adalah wajibnya taat kepada tata-tertib lalu lintas. Oleh sebab itu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tata tertib lalu lintas tergolong perkara yang telah diatur oleh pemerintah dan di dalamnya tidak terkandung perkara maksiat, maka apabila ada orang yang menyelisihinya maka dia telah durhaka dan berdosa.” (Syarh Riyadhus Shalihin [2/347])
  28. Syaikh Walid menerangkan, di antara faedah hadits ini adalah hendaknya taat kepada pemerintah dalam perkara-perkara ijtihadiyah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Di antara manfaatnya adalah –wallahu a’lam– demi menjaga persatuan kaum muslimin. Sebagaimana dalam kaidah para ulama bahwa keputusan pemerintah/pemimpin itulah yang mengangkat adanya perselisihan.
  29. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini juga menunjukkan bahwa sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk menerapkan hukum Allah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Dan sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu manusia yang akan mendapatkan naungan Allah kelak di hari kiamat adalah pemimpin yang adil (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan menerapkan ajaran/hukum Islam, semoga Allah berikan hidayah kepada para pemimpin negeri kaum muslimin…
  30. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini juga menunjukkan bahwa para imam/pemimpin bukanlah orang-orang yang ma’shum/terjaga dari kesalahan (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  31. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bolehnya berijtihad dalam perkara-perkara nawazil (masalah baru) dengan cara mengembalikannya kepada ushul/dalil-dalil yang ada (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60])
  32. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bolehnya berpegang kepada keumuman dalil  -selama tidak datang pengkhususannya- (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60]). Hal itu  sebagaimana yang dilakukan oleh Umar yang berpegang kepada dalil umum
  33. Hadits ini menunjukkan haramnya memberontak kepada penguasa muslim yang sah. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini juga menunjukkan wajibnya memerangi ahlul baghyi/pemberontak (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60]). Syaikh Walid juga mengatakan bahwa memerangi pemberontak/bughat merupakan bagian dari jihad (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  34. Tidak wajib taat kepada pemimpin dalam kemaksiatan
  35. Hukum asal memerangi kaum muslimin ahlul qiblah -orang yang mengucapkan syahadat- adalah haram
  36. Syaikh Walid menerangkan, hadits ini menunjukkan bahwa darah manusia dijaga di dalam agama Islam (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  37. Perang bukanlah tujuan, akan tetapi perang adalah sarana untuk mengembalikan manusia kepada ketaatan dan keimanan
  38. Hukum sarana mengikuti hukum tujuan
  39. Kebenaran itu bisa dikenali dengan firasat. Namun tetap saja yang menjadi dalil/landasan hukum adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Syaikh Walid menerangkan, di antara faedah hadits ini adalah: kelapangan dada para ulama dalam melakukan sesuatu pada umumnya menandakan kebenaran apa yang dilakukannya (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  40. Ucapan seorang ulama besar pada umumnya bisa dijadikan pegangan apalagi dalam perkara yang menyangkut urusan orang banyak (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  41. Hukum di dunia ditegakkan berdasarkan apa yang tampak, bukan apa yang di dalam batin (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang) Sebab urusan batin kita serahkan kepada Allah (lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/59]).
  42. Syaikh Walid menerangkan, di antara pelajaran yang terkandung dalam hadits ini adalah barangsiapa yang menyembunyikan kekafiran (dalam batin) maka perilaku lahirnya harus tetap diterima (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/56]).
  43. Syaikh Walid menerangkan, di antara faedah hadits ini adalah tidak bolehnya mengkafirkan ahli bid’ah -yang bid’ahnya tidak sampai derajat kafir, pen- begitu pula para pelaku kemaksiatan (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  44. Syaikh Walid menerangkan, di antara faedah hadits ini adalah diterimanya taubat orang kafir/zindiq dari kekafirannya (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang, lihat juga Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60])
  45. Syaikh Walid menerangkan, salah satu faedah hadits ini adalah seorang pemimpin boleh/berhak mengadakan musyawarah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Dan musyawarah ditempuh jika masalahnya belum ada dalil tegasnya. Sehingga hadits ini merupakan salah satu dalil yang membantah paham demokrasi (faedah dari artikel Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. di situs muslim.or.id)
  46. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyadarkan orang-orang yang menentang ajaran agama dan menekan mereka dengan kekerasan agar tunduk kepada ajaran yang benar
  47. Pemerintah semestinya memiliki cara pandang yang benar dalam menyikapi berbagai fenomena yang muncul di masyarakat terutama dalam hal penyimpangan cara beragama (baca: manhaj)
  48. Seorang pemimpin seharusnya mempelajari akidah yang benar dan memperjuangkan akidah itu melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya
  49. Menjaga keselamatan akidah kaum muslimin merupakan tugas utama pemerintah kaum muslimin, di samping hal itu juga menjadi kewajiban para ulama
  50. Hadits ini menunjukkan bahwa penyimpangan dalam hal akidah akan merembet kepada penyimpangan dalam masalah-masalah yang lainnya
  51. Hadits ini menunjukkan wajibnya berlaku adil dan tidak membeda-bedakan perkara yang sama atau sebaliknya menyamakan perkara yang berbeda
  52. Tujuan dakwah Islam bukan semata-mata agar manusia mengucapkan la ilaha illallah namun harus disertai dengan ketundukan terhadap kandungan dan konsekuensi ucapan itu yang berupa tauhid dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga syahadat la ilaha illallah harus disertai dengan keimanan kepada segala ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/56])
  53. Hadits ini menunjukkan bahwa syahadat risalah merupakan bagian tak terpisahkan dari syahadat tauhid. Orang yang bertauhid (baca: beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik) harus taat kepada ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tauhid tidak cukup apabila tidak diiringi dengan ketundukan kepada syari’at yang beliau bawa. Oleh karena itulah para ulama sepakat mengkafirkan orang yang berkeyakinan bolehnya tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad sebagaimana bolehnya Khidr tidak mengikuti syari’at Musa ‘alaihimas salam.
  54. Hadits ini menunjukkan bahwa amal lahir adalah bagian dari iman. Sehingga hadits ini merupakan bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa amal bukan termasuk iman. Syaikh Walid mengatakan, di antara faedah hadits ini adalah iman itu mencakup ucapan dan perbuatan, ini merupakan bantahan bagi Murji’ah (keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
  55. Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang bahkan juga bisa lenyap
  56. Komando perang berada di tangan penguasa bukan di tangan rakyat sipil! Sehingga hadits ini menjadi salah satu dalil yang mengoreksi kesalahan sebagian da’i salafi (baca: tokoh salafi) di negeri ini beberapa waktu yang silam ketika melakukan mobilisasi massa dan mengibarkan bendera jihad tanpa ada komando dari pihak yang berwenang. Dan segala puji bagi Allah, beliau telah menyatakan rujuk (taubat) dari kesalahan beliau di masa silam -dan semoga kasus ini juga termasuk di dalamnya-, semoga Allah mengampuni dosanya dan dosa kita semua, amin.

Inilah sebagian pelajaran dari hadits yang mulia ini, semoga bermanfaat bagi kita dan menambah keimanan dan ketakwaan kita semua. Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah.

Yogyakarta, 4 Dzulqo’dah 1430 H
Hamba yang mengharap ampunan Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
-semoga Allah membimbingnya-
http://abumushlih.com


Artikel asli: http://abumushlih.com/sepenggal-kisah-kebijaksanaan-abu-bakar-ash-shiddiq.html/